Senin, 14 Juni 2010

penyuluhan hipertensi

Hipertensi merupakan salah satu penyakit yang mengakibatkan angka
kesakitan yang tinggi. Menurut Adnil Basha (2004: 1) hipertensi adalah suatu
keadaan dimana seseorang mengalami peningkatan tekanan darah di atas normal
yang mengakibatkan angka kesakitan atau morbiditas dan angka kematian atau
mortalitas. Sedangkan menurut Lanny Sustrani, dkk (2004: 12) hipertensi atau
penyakit darah tinggi adalah gangguan pada pembuluh darah yang mengakibatkan
suplai oksigen dan nutrisi yang dibawa oleh darah terhambat sampai ke jaringan
tubuh yang membutuhkannya. Hipertensi akan memberi gejala yang berlanjut
untuk suatu target organ seperti otak (stroke), pembuluh darah jantung (penyakit
jantung koroner), otot jantung (left ventricle hypertrophy) (Bustan, 2000: 31).
Hipertensi sering kali disebut sebagai pembunuh gelap (silent killer) karena
termasuk yang mematikan tanpa disertai dengan gejala-gejalanya lebih dahulu
sebagai peringatan bagi korbannya (Lanny Sustrani (2004:12). Hipertensi adalah
faktor risiko utama untuk terjadinya penyakit jantung koroner dan gangguan
pembuluh darah otak yang dikenal dengan stroke. Bila tekanan darah semakin
tinggi maka harapan hidup semakin turun (Wardoyo, 1996: 26).
Menurut WHO batas normal tekanan darah adalah 120–140 mmHg
tekanan sistolik dan 80 – 90 mmHg tekanan diastolik. Seseorang dinyatakan
mengidap hipertensi bila tekanan darahnya > 140/90 mmHg. Sedangkan menurut
2
JNC VII 2003 tekanan darah pada orang dewasa dengan usia diatas 18 tahun
diklasifikasikan menderita hipertensi stadium I apabila tekanan sistoliknya 140 –
159 mmHg dan tekanan diastoliknya 90 – 99 mmHg. Diklasifikasikan menderita
hipertensi stadium II apabila tekanan sistoliknya lebih 160 mmHg dan
diastoliknya lebih dari 100 mmHg sedangakan hipertensi stadium III apabila
tekanan sistoliknya lebih dari 180 mmHg dan tekanan diastoliknya lebih dari 116
mmHg (Lanny Sustrani, 2004: 15).
Prevalensi hipertensi di seluruh dunia, diperkirakan sekitar 15-20%.
Hipertensi lebih banyak menyerang pada usia setengah baya pada golongan umur
55-64 tahun. Hipertensi di Asia diperkirakan sudah mencapai 8-18% pada tahun
1997, hipertensi dijumpai pada 4.400 per 10.000 penduduk. Hasil Survey
Kesehatan Rumah Tangga tahun 1995, prevalensi hipertensi di Indonesia cukup
tinggi, 83 per 1.000 anggota rumah tangga, pada tahun 2000 sekitar 15-20%
masyarakat Indonesia menderita hipertensi (Departemen Kesehatan RI:2003).
Menurut Darmojo Boedhi (1993), bahwa 50% orang yang diketahui hipertensi
pada negara berkembang hanya 25% yang mendapat pengobatan, dan 12,5% yang
diobati secara baik. Prevalensi hipertensi di Indonesia mengalami kenaikan dari
tahun 1988–1993. Prevalensi hipertensi pada laki-laki dari 134 (13,6%) naik
menjadi 165 (16,5%), hipertensi pada perempuan dari 174 (16,0%) naik menjadi
176 (17,6%). Penelitian yang membandingkan hipertensi pada wanita dan pria
oleh Sugiri di daerah kota Semarang diperoleh prevalensi hipertensi 7,5% pada
pria dan 10,9% pada wanita, sedangkan di daerah kota Jakarta didapatkan
3
prevalensi hipertensi 14,6% pada pria dan 13,7% pada wanita (Arjatmo T, Hendra
U, 2001:455).
Banyak faktor yang berperan untuk terjadinya hipertensi meliputi faktor
risiko yang tidak dapat dikendalikan (mayor) dan faktor risiko yang dapat
dikendalikan (minor). Faktor risiko yang tidak dapat dikendalikan (mayor) seperti
keturunan, jenis kelamin, ras dan umur. Sedangkan faktor risiko yang dapat
dikendalikan (minor) yaitu olahraga, makanan (kebiasaan makan garam), alkohol,
stres, kelebihan berat badan (obesitas), kehamilan dan penggunaan pil kontrasepsi
(Asep Pajario, 2002). Faktor–faktor risiko di atas akan dikendalikan dalam
penelitian ini melalui analisis stratifikasi.
Merokok merupakan salah satu kebiasaan hidup yang dapat
mempengaruhi tekanan darah. Pada keadaan merokok pembuluh darah dibeberapa
bagian tubuh akan mengalami penyempitan, dalam keadaan ini dibutuhkan
tekanan yang lebih tinggi supaya darah dapat mengalir ke alat-alat tubuh dengan
jumlah yang tetap. Untuk itu jantung harus memompa darah lebih kuat, sehingga
tekanan pada pembuluh darah meningkat (Wardoyo, 1996: 28).
Rokok yang dihisap dapat mengakibatkan peningkatan tekanan darah.
Namun rokok akan mengakibatkan vasokonstriksi pembuluh darah perifer dan
pembuluh di ginjal sehingga terjadi peningkatan tekanan darah. Merokok
sebatang setiap hari akan meningkatkan tekanan sistolik 10–25 mmHg dan
menambah detak jantung 5–20 kali per menit (Mangku Sitepoe, 1997:29).
Dengan menghisap sebatang rokok akan mempunyai pengaruh besar terhadap
kenaikan tekanan darah, hal ini disebabkan oleh zat-zat yang terkandung dalam
4
asap rokok. Asap rokok terdiri dari 4000 bahan kimia dan 200 diantaranya
beracun, antara lain Karbon Monoksida (CO) yang dihasilkan oleh asap rokok dan
dapat menyebabkan pembuluh darah kramp, sehingga tekanan darah naik,
dinding pembuluh darah dapat robek (Suparto, 2000:74). Gas CO dapat pula
menimbulkan desaturasi hemoglobin, menurunkan langsung peredaran oksigen
untuk jaringan seluruh tubuh termasuk miokard. CO menggantikan tempat
oksigen di hemoglobin, mengganggu pelepasan oksigen, dan mempercepat
aterosklerosis (pengapuran atau penebalan dinding pembuluh darah). Nikotin
juga merangsang peningkatan tekanan darah. Nikotin mengaktifkan trombosit
dengan akibat timbulnya adhesi trombosit (pengumpalan) ke dinding pembuluh
darah. Nikotin, CO dan bahan lainnya dalam asap rokok terbukti merusak dinding
pembuluh endotel (dinding dalam pembuluh darah), mempermudah pengumpalan
darah sehingga dapat merusak pembuluh darah perifer (G.Sianturi, 2003:12).
Dampak rokok akan terasa setelah 10–20 tahun pasca digunakan. Dampak
asap rokok bukan hanya untuk si perokok aktif (Active smoker), tetapi juga bagi
perokok pasif (Pasive smoker). Orang yang tidak merokok atau perokok pasif,
tetapi terpapar asap rokok akan menghirup 2 kali lipat racun yang dihembuskan
oleh perokok aktif (Ruli A. Mustafa, 2005: 3). Bila sebatang rokok dihabiskan
dalam sepuluh kali isapan maka dalam tempo setahun bagi perokok sejumlah 20
batang (1 bungkus) per hari akan mengalami 70.000 kali isapan asap rokok.
Beberapa zat kimia dalam rokok bersifat kumulatif (ditimbun), suatu saat dosis
racunnya akan mencapai titik toksis sehingga mulai kelihatan gejala yang
ditimbulkannya (Mangku Sitepoe, 1997: 19).
5
Menurut penelitian di Lombok dan Jakarta memperlihatkan 75% dan 61%
pria dewasa (715) dan kurang dari 5% wanita dewasa mempunyai kebiasaan
merokok menghabiskan rokok lebih dari 20 batang per hari. Hubungan merokok
dengan kesehatan juga dapat dibuktikan oleh SKRT Depkes 1972, 1980, 1986 dan
1992 dimana terlihat jelas peningkatan proporsi kematian akibat penyakit
kardiovaskuler yaitu tahun 1972 sebesar 51% tahun 1980 sebesar 9,9%, tahun
1986 sebesar 9.7% dan tahun 1992 sebesar 16,4 % (Aulia Sani:2004)
Menurut Departemen Kesehatan melalui pusat promosi kesehatan
menyatakan Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang memiliki
tingkat konsumsi rokok dan produksi rokok tertinggi. Berdasarkan data dari
WHO tahun 2002 Indonesia menduduki urutan ke 5 terbanyak dalam konsumsi
rokok di dunia dan setiap tahunnya mengkonsumsi 2,5 miliar batang rokok.
Angka kekerapan merokok di Indonesia yaitu 60%-70% pada laki-laki di
perkotaan dan 80% - 90% (Vivi, Juanita, 2003: 1).
Dari hasil Sussenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional) 2001 menyatakan
bahwa 54% penduduk laki-laki merupakan perokok dan hanya 1,2% perempuan
yang merokok. Menurut Edward D Frohlich, seorang pria dewasa akan
mempunyai peluang lebih besar yakni satu diantara lima untuk mengidap
hipertensi (Lanny Sustrani, 2004:25).
Berdasarkan data dari dinas Kesehatan Propinsi Jawa Tengah daerah
kabupaten Blora mengalami kenaikan angka kejadian hipertensi dari tahun 2001
sampai 2004. Dari tahun 2001 yaitu 399 kasus (13,6%), 2002 sebesar 1999 kasus
(16,5%), 2003 sebesar 2371 kasus (16,0%) dan tahun 2004 sebesar 5697 kasus
6
(17,0%). Dari data Dinas Kesehatan Kabupaten Blora tahun 2005 hipertensi di
BRSD Cepu termasuk dalam 10 besar penyakit tidak menular, untuk rawat inap
penderita hipertensi sebesar 73 kasus (7,31%) sedangkan untuk rawat jalan
penderita hipertensi 681 kasus (9,96%). Dari data yang diperoleh dari bagian
rekam medik BRSD Cepu pasien hipertensi usia 40 tahun ke atas sebanyak 159
(39.75%) pasien dari periode Januari – November 2006.
Dalam penelitian ini faktor risiko yang mempengaruhi hipertensi pada
laki-laki usia 40 tahun ke atas yang akan diteliti adalah kebiasaan merokok yang
pada umumnya terdapat pada laki-laki. Pada penelitian ini responden yang di
ambil sebagai sampel adalah aki-laki usia 40 tahun ke atas perokok sehingga
dapat diperoleh perbedaan yang jelas mengenai perilaku merokok menurut jenis,
jumlah, lama, dan cara merokok. Responden yang tidak merokok dan mengalami
hipertensi tidak dijadikan sampel, karena kemungkinan hipertensi disebabkan
karena faktor lain, sehingga tidak diperoleh indikator perilaku merokok yang
dapat menyebabkan hipertensi. Pada penelitian ini diambil untuk pasien rawat
jalan karena alasan kesehatan pasien, dimana penderita hipertensi dengan rawat
inap tidak dapat mengikuti penelitian untuk pengukuran berat badan dan tinggi
badan.
Penelitian ini akan dilaksanakan pada laki-laki yang berusia lebih dari 40
tahun ke atas yang merupakan pasien di BRSD Cepu. Badan Rumah Sakit
Daerah Cepu merupakan rumah sakit kelas C yang terdapat di kecamatan Cepu
Kabupaten Blora, menampung rujukan dari puskesmas baik medik maupun
kesehatan. Rumah Sakit ini merupakan rumah sakit pendidikan yaitu tempat
7
dihasilkannya sumber daya manusia di bidang kesehatan, merupakan sarana
pendidikan untuk melaksanakan upaya menumbuhkan dan membina sikap
ketrampilan profesional kedokteran khususnya, serta tempat penelitian dan
penapisan ilmu dan tekhnologi kedokteran dan kesehatan (Tjandra Yoga
Aditama, 2002:234).
Berdasarkan alasan tersebut di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti
hubungan kebiasan merokok dengan kejadian hipertensi pada laki-laki usia 40
tahun ke atas di Badan Rumah Sakit Daerah Cepu.